Teori Etika Lingkungan:Antroposentrisme

Nama Anggota :
1.     Annisa Auliarani  (10215857)
2.     Aprilia Yunita (10215921)
3.     Ariska Damayanti (11215020)
4.     Nur Amalita Syafira (15215168)
5.     Sri Soundayah (16215674)

Antroposentrisme (Shallow Environtmental Ethics)

Pada umumnya, agama Kristen dan filsafat Barat, dan seluruh tradisi pemikiran liberal, termasuk ilmu pengetahuan modern, dianggap sebagai akar dari etika antroposentrisme. Selain teologi Kristen yang bersumber terutama pada kisah penciptaan dunia sebagaimana dimuat dalam Kitab Kejadian, pemikir-pemikir besar mulai dari Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene Descartes, dan Immanuel Kant mempunyai pengaruh sangat besar dalam membentuk cara pandang yang antroposentris ini. Kisah penciptaan dalam teologi Kristen dan juga pemikiran besar dari filsuf-filsuf besar ini sangat mempengaruhi cara pandang dan dalam kaitan dengan itu perilaku manusia modern terhadap lingkungan hidup.
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Antroposentrisme juga dilihat sebagai sebuah teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting. Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak pada tempatnya. Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup-kalaupun itu ada-itu semata-mata demi memenuhi kepentingan sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam hanya merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Bukan merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu sendiri.
Selain bersifat antroposentris, etika ini sangat instrumentalistik, dalam pengertian pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Dalam arti itu, antroposentrisme juga disebut sebagai etika teleologis karena mendasarkan pertimbangan moral pada akibat dari tindakan tersebut bagi kepentingan manusia. Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia. Konservasi, misalnya, hanya dianggap serius sejauh itu bisa dibuktikan mempunyai dampak menguntungkan bagi kepentingan manusia, khususnya kepentingan ekonomis.
Teori semacam ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Kepentingan makhluk hidup lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral, sekali lagi, pertimbangan itu bersifat egoistis: demi kepentingan manusia.
Karena berciri instrumentalistik dan egoistis, teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan hidup yang dangkal dan sempit (shallow environmental ethics). Dibandingkan dengan dua teori lain dalam bab-bab berikut, etika ini terlalu sempit dan dangkal dalam memandang keseluruhan ekosistem, termasuk manusia dan tempatnya di dalam alam semesta.
Sejauh ini, teori tersebut dituduh sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, dari krisis lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan  menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian kepada kelestarian alam. Pola perilaku yang eksploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut dianggap berakar pada cara pandang yang hanya mementingkan kepentingan manusia. Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi kepentingan manusia. Apa saja boleh dilakukan manusia terhadap alam, sejauh tidak merugikan kepentingan.
Argumen antroposentrisme yang lain kita temukan pada tradisi Aristotelian sebagaimana dikembangkan oleh Thomas Aquinas dengan fokus utama pada rantai Kehidupan (the Great Chain of Being). Menurut argumen ini, semua kehidupan di bumi membentuk dan berada dalam sebuah rantai kesempurnaan kehidupan, mulai dari yang paling sederhana sampai kepada yang Maha Sempurna, yaitu Allah sendiri. Dalam rantai kesempurnaan kehidupan tadi, manusia menempati posisi sebagai yang paling mendekati Maha Sempurna. Itu berarti, manusia menempati urutan teratas dari rantai ciptaan, sehingga dianggap lebih superior dari semua ciptaan lainnya, termasuk di antara semua makhluk hidup lainnya. Argumen ini sesungguhnya menggarisbawahi apa yang telah dikemukakan oleh Aristoteles dalam bukunya The Politics. Dalam buku ini, pemikiran antroposentrisme Aristoteles jelas terlihat dari kutipan ini : “tumbuhan disiapkan untuk kepentingan binatang, dan binatang disediakan untuk kepentingan manusia.” Jadi, ada semacam teleologi-rangkaian urutan menuju kesempurnaan, dimana ujung dari kesempurnaan itu adalah Yang Maha Sempurna, Allah.
Berdasarkan argumen ini, setiap ciptaan yang lebih rendah dimaksudkan untuk kepentingan ciptaan yang lebih tinggi. Karena manusia adalah ciptaan yang lebih tinggi dari semua ciptaan yang lain, ia berhak menggunakan semua ciptaan, termasuk semua makhluk hidup lainnya, demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya sebagai makhluk ciptaan yang lebih tinggi kedudukannya. Manusia boleh memperlakukan ciptaan yang lebih rendah sesuai dengan kehendaknya dan menggunakan sesuai dengan keinginannya. Dan itu sah, karena demikianlah kodrat kehidupan dan tujuan penciptaan. Pada gilirannya, manusia adalah alat dan siap untuk digunakan sesuai dengan kehendak Allah.
Manusia lebih tinggi dan terhormat dibanding dengan makhluk ciptaan lain karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional (the free and rational being) sebagaimana dipahami oleh Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant. Termasuk dalam argumen ini adalah manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup yang mampu menggunakan dan memahami bahasa, khususnya bahasa simbol, untuk berkomunikasi.
Dalam argumen ini, manusia dilihat sebagai satu-satunya makhluk hidup yang mampu menguasai dan menggerakkan aktivitasnya sendiri secara sadar dan bebas. Ia adalah makhluk berakal budi yang mendekati keilahian Tuhan sekaligus mengambil bagian dalam keilahian Tuhan. Manusia menentukan apa yang ingin dilakukan dan memahami mengapa ia melakukan tindakan tertentu. Demikian pula, ia mampu mengkomunikasikan isi pikirannya dengan sesama manusia melalui bahasa. Kemampuan-kemampuan ini tidak ditemukan pada binatang dan makhluk lainnya, sehingga manusia dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada ciptaan yang lain. Sebagai makhluk yang lebih tinggi, karena bebas dan rasional, Tuhan menciptakan dan menyediakan segala sesuatu di bumi ini demi kepentingan manusia.
Secara lebih spesifik lagi, dalam pemikiran Rene Descartes, manusia mempunyai tempat istimewa di antara semua makhluk hidup, karena manusia mempunyai jiwa yang memungkinkannya untuk berpikir dan berkomunikasi dengan bahasa. Sebaliknya, binatang adalah makhluk yang lebih rendah dibandingkan dengan manusia, karena binatang hanya memiliki tubuh, yang dianggap Descartes sebagai sekadar mesin yang bergerak secara otomatis. Binatang tidak mempunyai jiwa yang memungkinkannya bisa bergerak berdasarkan pemikiran atau pengetahuannya sendiri. Binatang lebih bertindak secara mekanis dan otomatis, seperti halnya jam, seakan telah disetel oleh Tuhan untuk bergerak secara tertentu.
Sejalan dengan itu, menurut Immanuel Kant, karena hanya manusia yang merupakan makhluk rasional, manusia diperbolehkan secara moral untuk menggunakan makhluk non rasional lainnya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu mencapai suatu tatanan dunia yang rasional. Karena makhluk bukan manusia dan semua entitas alamiah lainnya tidak memiliki akal budi, mereka tidak berhal untuk diperlakukan secara moral. Maka, manusia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap makhluk lainnya. Bahkan dalam konteks teori deontologi, terlihat jelas bahwa bagi Kant hanya manusia yang perlu mendapat perlakuan moral sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Segala sesuatu yang lain hanya alat dan sah untuk diperlakukan sebagai alat demi memenuhi tujuan hidup manusia. Kalaupun manusia mempunyai kewajiban terhadap binatang atau alam semesta, kewajiban tersebut merupakan kewajiban tidak langsung terhadap manusia yang lain, bukan terhadap binatang atau alam semesta itu sendiri.
Dengan ini terlihat jelas bahwa etika-khususnya etika Barat-yang dikenal dalam masyarakat modern hingga sekarang dibatasi hanya berlaku bagi manusia. Etika seperti ini sangat antroposentris. Etika ini tidak berlaku bagi makhluk lain di luar manusia. Oleh karena itu, tidak ada yang salah secara moral pada perilaku manusia terhadap binatang dan tumbuhan, serta makhluk hidup lainnya, apa pun perilaku manusia itu. Semua makhluk hidup selain manusia hanya sekadar alat dan tidak mempunyai nilai dan status moral untuk diperlakukan secara bermoral oleh manusia. Memberlakukan etika dan moralitas bagi makhluk hidup lain merupakan sebuah kesalahan kategoris.
Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori antroposentrisme, yang dituding sebagai sumber krisis ekologi sekarang ini, teori ini dibela dan dipahami  secara lebih kritis dari perspektif yang agak lain, antara lain oleh W.H. Murdy dan F. Frase Darling. Murdy, seorang ahli botani, mengajukan sebuah argumen antroposentris yang agak lunak. Menurut Murdy, sesungguhnya setiap spesies ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Jadi, berbeda dengan Kant yang hanya menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Jadi, berbeda dengan Kant yang hanya menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, Murdy justru berpendapat bahwa semua makhluk di dunia ini ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Atas dasar itu, adalah hal yang alamiah dan wajar kalau manusia menilai dirinya lebih tinggi dari spesies atau makhluk lainnya. Begitu pula dengan makhluk lain, akan menilai dirinya dan spesiesnya lebih tinggi dan lebih berharga daripada manusia. Tetapi yang menarik, menurut Murdy, demi mencapai tujuannya itu, manusia mau tidak mau akan menilai tinggi alam semesta beserta seluruh isinya, karena kelangsungan hidup manusia dan kesejahteraannya sangat tergantung dari kualitas, keutuhan, dan stabilitas ekosistem seluruhnya,
Dengan argumen ini, Murdy ingin mengatakan bahwa yang menjadi masalah bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan hidup adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan itu manusia bunuh diri. Sejauh manusia menggunakan alam semesta dan seluruh isinya demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang berguna dan tepat (proper ends), ini dibenarkan secara moral. Kehidupan dan kesejahteraan manusia bergantung pada alam semesta, sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung dari keberadaan spesies lain lagi.
Jadi, menurut Murdy, krisis lingkungan hidup akan disebabkan oleh pendekatan antroposentris per se, melainkan oleh pendekatan antroposentris yang berlebihan. Yang salah bukan pendekatan antroposentris, karena antroposentrisme menegaskan teori bahwa manusia bukanlah entitas yang terpisah dan bertindak lepas dari konteks ekologis.
Antroposentrisme merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversial dan menimbulkan perdebatan seru di antara banyak filsuf hingga sekarang. Di satu pihak antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hidup hingga sekarang. Di, pihak lain antroposentrisme juga dibela, pertama, karena validitas argumennya sulit dibantah, dan karena itu yang salah bukanlah antroposentrisme itu sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua, antroposentrisme menawarkan etika lingkungan hidup yang mempunyai daya tarik kuat untuk mendorong manusia menjaga lingkungan hidup.
Dalam kaitan dengan etika lingkungan hidup yang ditawarkannya, ada beberapa kelemahan yang perlu disinggung di sini. Pertama, model etika ini mengabaikan masalah-masalah lingkungan hidup yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Maka, manusia, misalnya, akan tetap membuang limbah ke sungai atau menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya, sejauh dipandang menyangkut kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia maka akan diabaikan.

Sumber:
1. Keraf, A. Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
2. http://soskita.blogspot.co.id/2015/09/etikalingkungan-antroposentrisme.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Iklan : Torabika Cappuccino Choco Granule

Analisis Studi Kasus Berdasarkan SAP

Tata Cara Pendirian Koperasi dan Flowchart